PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronik





BAB 1
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang memiliki angka kematian dan kesakitan yang tinggi di dunia, dan juga berkaitan erat dengan beban sosial dan ekonomi di masyarakat. Penyakit ini lebih sering dialami laki-laki dibandingkan perempuan dan kebanyakan penderita PPOK berusia diatas 40 tahun. Penyakit PPOK memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan rokok, semakin banyak dan semakin lama rokok yang dihisap maka risiko untuk timbulnya PPOK semakin meningkat. Selain sering dialami oleh perokok berat, prevalensi PPOK juga tinggi pada daerah yang memiliki tingkat polusi yang tinggi.
PPOK di negara- negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%). Sementara di Indonesia, menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, rerata batang rokok yang dihisap perhari penduduk Indonesia adalah 12,3 batang, yaitu setara dengan satu bungkus rokok. Hal ini menggambarkan risiko yang sangat tinggi bagi penduduk Indonesia untuk mengalami penyakit PPOK. Dari hasil riset tersebut didapatkan prevalensi PPOK di Indonesia adalah 3,7%, dengan prevalensi tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10%).







BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Definisi
Penyakit paru obstruksi kronik (CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASES, COPD) di definisikan sebagai suatu kondisi yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak irevesible sempurna. PPOK mencakup emfisema, suatu kedaaaan anatomis yang ditandai oleh destruksi dan pembesaran alveolus paru; bronkitis kronik, suatu kondisi klinis dengan batuk kronik dan sputum; dan penyakit saluran nafas kecil (small airway disease) suatu kondisi penyempitan bronkiolus kecil. [1]
PPOK hanya terjadi jika terdapat obstruksi aliran udara yang kronis; bronchitis kronis tanpa obstruksi aliran udara kronis tidak termasuk PPOK. [1]

2.2       Epidemiologi
PPOK merupakan keempat kematian tesering dan menyerang >10juta orang di amerika serikat. PPOK juga sering menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Diperkirakan bahwa peringkat PPOK akan meningkat dari keenam menjadi ketiga sebagai penyebab kematian tersering di seluruh dunia tahun 2002. [1]





Tabel 2.1 Prevalensi PPOK Menurut Jenis Kelamin dan Negara
Negara
Laki-laki
Negara
Perempuan
Cape Town – Afrika Selatan
22,2%
Cape Town – Afrika Selatan
16,7%
Manila – Philipina
18,8%
Lexington – USA
15,6%
Adana – Turki
15,4%
Sydney – Australia
12,2%
Krakow – Polandia
13,3%
Salzburg – Austria
11,0%
Lexington – USA
12,7%
Reykjavik – Islandia
9,3%
Sumber: [2]
WHO memperkirakan sekitar 80 juta orang akan menderita PPOK dan 3 juta meninggal karena PPOK pada tahun 2005, dengan merujuk 5% dari seluruh kematian secara global. Total kematian akibat PPOK diproyeksikan akan meningkat > 30% pada 10 tahun mendatang. Peningkatan secara drastis pada dua dekade diharapkan di negara-negara Asia dan Afrika karena peningkatan pemakaian tembakau. WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian keempat didunia. Diperkirakan menyebabkan kematian pada 2,75 juta orang atau setara dengan 4,8%16. Di wilayah Eropa angka kematian PPOK sekitar < 20/100.000 penduduk (Yunani, Swedia, Islandia, Norwegia) sampai > 80/100.000 penduduk (Ukraina, dan Romania). Sedangkan di Perancis angka kematian PPOK sebesar 40/100.000 penduduk. Di negara-negara berkembang kematian akibat PPOK juga meningkat, hal ini dihubungkan dengan peningkatan jumlah masyarakat yang mengkonsumsi rokok. Di Cina merokok menyebabkan kematian sebesar 12% dan diperkirakan akan meningkat menjadi 30% pada tahun 2030.
Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan meningkat pada kelompok umur > 45 tahun. Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun29. [2]
2.3       Faktor Resiko
1.      Merokok
Merokok merupakan factor resiko utama kematian akibat bronchitis kronis dan emfisema. [1]
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkemban. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. [2]
Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-paru-nya. [2]
2.      Infeksi pernafasan
Dampak infeksi pernafasan masa dewasa pada penurunan fungsi paru masih diperdebatkan, tetapi biasanya tidak dijumpai penurunan signifikan fungsi paru jangka panjang setelah episode bronkitis atau pneumonia. Meskipun infeksi pernafsan merupakan penyebab penting eksaserbasi PPOK, keterkaitan antara infeksi pernafasan,baik anak atau dewasa dan terjadinya PPOK sarta perkembangannya masih perlu dibuktikan. [1]
3.      Pajanan di tempat kerja
Menigkatnya gejala pernafasan dan obstruksi aliran udara telah dikemukakan sebagai akibat dari pajanan debu dan asap di tempat kerja. Sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa pajanan batubara merupakan factor resiko signifikan untuk emfisema,baik bagi peroko maupun bukan peroko. Pada sebagian besar kasus, dampak pajanan ditempat kerja ini terhadap resiko PPOK kemungkinan jauh kurang penting dibandingkan dengan efek merokok. [1]
4.      Polusi udara lingkungan
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada dekade terakhir ini saat ini telah mengkhawatirkan sebagai masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara dengan income rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan cara masak tradi-sional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor dari bahan sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan yang tidak merokok. [2]
5.      Merokok pasif
Terpajananya asap rokok menyebabkan penurunan pertumbuhan paru secara signifikan. Pejanan asap roko ketika masih dalam kandungan juga menurunkan fungsi paru yang signifikan pasca lahir. Meskipun meroko pasif dilaporkan berkaitan dengan penurunan fungsi paru, peran factor ini terhadap penurunan berat fungsi paru pada PPOK masih belum dipastikan. [1]
6.      Faktor generik
Defisiensi α1 antitripsin (α1-AT) terbukti merupakan factor resiko genetic PPOK semakin banyak bukti yang menyatakan keterlibatan determinan genetic lainnya. [1]
2.4       Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. [4]
Penurunan persisten pada laju aliran ekspirasi paksa merupakann temuan paling khas pada PPOK. Menigkatnya volume residual dan rasio volume residu/ kapasitas paru total, distribusi ventilasi yang tidak merata, dan ketidaksesuaian (mismatch) ventilas perfusi juga terjadi. [3]
a.         Obstruksi aliran udara
Hambatan udara atau obstruksi aliran udara dapat diketauhui dengan spirometri, yang melibatkan maneuver penghembusan nafas sekuat-kuatnya setelah melakukan inhalasi maksimal sehingga mencapai kapasitas paru total. [1] FEV1 yang berkurang tidak dapat dikembalikan dengan dihisap bronkodilator, meskipun perbaikan hingga 15 persen umum dijumpai. Dalam hal ini, PPOK berbeda dari asma di mana perbaikan besar aliran udara dengan bronkodilator inhalasi adalah karakteristik. [3]
Aliran udara selama ekshalasi paksa terbentuk oleh keseimbangan antara recoil elastic paru yang mendorong aliran dan resistensi saluran aliran udara yang menghambat aliran. Pada paru normal,demikian juga pada penderita PPOK aliran ekspirasi maksimal berkurang seiring dengan menggempisnya paru karena recoil elastic parenkim paru secara progresif berkurang dan karena luas penampang saluran udara menurun,sehingga resisten terhadap aliran akan meningkat. [1]
b.        Hiperinflasi
Hiperinflasi toraks selama pernafasan tidal mempertahankan aliran udara ekspirasi maksimal karena dengan bertambahnya volume paru, tekanan recoil elastic meningkat dan saluran udara membesar sehingga resistennsi saluran napas berkurang. [1]
Hiperinflasi menggantikan diafragma menjadi posisi yang rata dan dengan demikian menciptakan sejumlah efek merugikan. Pertama, karena zona apposition antara diafragma dan dinding perut hilang, perut menekan selama inspirasi tidak ditransmisikan secara efektif dinding dada, menghambat gerakan tulang rusuk dan menggangu saat inspirasi. Kedua, karena otot-otot abdominal yang meratakan diafragma lebih pendek dari yang normal, kurang mampu dari yang biasanya menghasilkan tekanan inspirasi. Ketiga, diafragma rata harus menghasilkan ketegangan yang lebih besar untuk mengembangkan tekanan transpulmonary diperlukan untuk menghasilkan pernapasan tidal. [3]
c.         Pertukaran gas
PaO2 biasanya tetap normal sampai FEV1 turun menjadi sekitar 50% prediksi, dan bahkan nilainya yang jauh dari rendah dapat berkaitan dengan PaO2 normal, paling tidak saat istirahat. Bukti-bukti terkini menyebutkan bahwa beberapa pasien akan mengalami hioertensi pulmonal signifikan terlepas dari keparahan PPOK yang ada. Ventilasi yang tidak merata serta mismatch ventilasi perfusi merupakan cirri khas PPOK yang mencerminkan proses penyakit yang heterogen disalam saluran napas dan parenkim paru. [3]

2.5       Patologi
Gambar 2.1 Patologi PPOK
Merokok sering menyebabkan pembesaran kelenjar mukosa dan hyperplasia sel goblet, yang mencetuskan batuk dan produksi mucus dan dikenal dengan bronchitis kronik. Sel goblet tidak hanya bertambah jumlahnya tetapi juga meluas distribusinya hingga percabangan bronkus.bronkus juga mengalami metaplasia skuamosa, yang merupakan predisposisi kanker dan menggangu pembersihan mukosasillia. Influx neutrofil menyebabkan sputum purulen pada infeksi saluran napas atas. Pada saluran napas kecil perubahan seluler yang khas adalah metaplasia sel goblet yang menghasilkan mucus dan menggantikan sel clara, yaitu sel pensekreksi surfaktan. Terjadi pula infiltrasi fagosit mononuclear yang nyata. Hipertrofi otot polos juga dapat ditemukan.kelainan ini menyebabkan lumen akibat fibrosis, mucus yang berlebihan, edema dan sebukan sel. Emfisema diklasifikasikan menjadi tipe-tipe penting untuk diketahui adalah sentriasinar dan panasinar. Namun, emfisema terkait rokok biasanya campuran, khususnya pada stdium lanjut. Namun, klasifikasi patologis ini tidak banyak bermanfaat dalam penatalaksaan PPOK. [1]
2.6       Patogenesis
Degradasi elastin paru oleh aktivitas elastase dari sel-sel inflamasi mungkin merupakan mekanisme utama untuk emfisema pada sebagian besar perokok. Namun, biologi dari emfisema jelas kompleks dan masih belum sepenuhnya dipahami. Ini termasuk perekrutan sel inflamasi, ketidakseimbangan proteinaseantiproteinase, ketidakseimbangan oksidan-antioksidan, dan tanggapan sel paru-paru terhadap proteinase dan oksidan dari sel-sel inflamasi dan konstituen asap rokok. Itu mungkin juga melibatkan kekebalan humoral dan seluler kekebalan. Degradasi komponen matriks ekstraseluler selain elastin, khususnya kolagen, mungkin fitur penting. Dalam beberapa situasi, apoptosis sel paru-paru bisa mendahului degradasis sel matriks ekstraseluler. Penuan dari sel paru-paru, baru-baru ini diidentifikasi fenomena di emfisema, implikasi yang belum jelas, tetapi menunjukkan bahwa mekanisme perbaikan paru-paru rendah. [3]
Gambar 2.2 Patogenesis PPOK
Ket: Skema konsep patogenesis emfisema karena merokok. Asap menyebabkan induksi dan pelepasan faktor chemotactic oleh makrofag alveolar dan sel struktural residen menyebabkan akumulasi dari beberapa jenis sel radang di paru-paru. Sel residen yang diinduksi oleh asap dan pelepasan sel yang direkrut proteinase dan oksidan yang merusak atau menurunkan matriks ekstraseluler di dinding alveoli, saluran alveolar, dan pernapasan bronchioles. Asap juga menginduksi penuaan dan apoptosis sel struktural (cedera sel parenkim) yang mengarah pada pelepasan produk yang melukai jaringan dan mengurangi kapasitas jaringan untuk diperbaiki. Asap jauh lebih mempengaruhi homeostasis paru dengan menginaktivasi inhibitor proteinase, seperti α1-AT. [3]
2.7       Gejala Klinis
1.         Batuk kronis, yang bisa setiap hari dan produktif, tetapi bisa juga intermiten dan tidak produktif
2.         Sesak napas saat beraktivitas, awalnya terputus-putus dan menjadi gigih
3.         Produksi sputum: setiap pola produksi sputum dapat mengindikasikan PPOK
4.         Sering terjadi eksaserbasi bronkitis
5.         Riwayat paparan faktor-faktor risiko, terutama asap tembakau, debu pekerjaan, memasak di rumah dan bahan bakar biomassa. [5]
6.         Mengi dan nyeri dada
Mengi dan nyeri dada adalah gejala yang dapat bervariasi antara hari, dan selama satu hari. Suara mengi dapat timbul di tingkat laring dan tidak perlu disertai dengan kelainan yang didengar pada auskultasi. Atau, inspirasi atau ekspirasi yang meluas mengi dapat hadir pada auskultasi. Nyeri dada sering terjadi setelah aktivitas, tidak terlokalisir, dan mungkin timbul dari kontraksi isometrik otot interkostal. Ketiadaan mengi atau nyeri dada tidak mengecualikan diagnosis PPOK, juga tidak adanya gejala-gejala ini mengkonfirmasi diagnosis asma. [6]
2.8       Diagnosis
1.         Anamnesis [7]
-     Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
-     Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
-     Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
-     Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
-     Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
-     Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2.         Pemeriksaan Fisik [7]
a.    Inspeksi
-    Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
-    Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
-    Penggunaan otot bantu napas
-    Hipertropi otot bantu napas
-    Pelebaran sela iga
-    Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
-    Penampilan pink puffer atau blue bloater
b.    Palpasi
-    Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c.    Perkusi
-    Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d.   Auskultasi
-    Suara napas vesikuler normal, atau melemah
-    Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
-    Ekspirasi memanjang
-    Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing. [7] Secara klinis ditandai dengan dispnea dimana pada permulaannya terjadi bersamaan dengan adanya gerak badan (exertional dyspnoe). Pada keadaan yang lebih dispnea akan menjadi semakin progresif dimana terjadi juga dalam keadaan istirahat, terutama pada pasien yang berusia tua. Bila terjadi infeksi sputum biasanya menjadi kental dan banyak, serta sulit untuk dikeluarkan. Otot-otot nafas tambahan tampak dipergunakan tetapi sianosis jarang terjadi. [8]
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer. [7] Secara klinis ditandai dengan gejala batuk, produksi sputum yang banyak dan sesak napas yang terjadi secara periodik, terutama pada saat batuk. [8]

3.         Pemeriksaan Penunjang
a.    Faal Paru
Spirometri merupakan tes fungsi paru yang mengukur persentase dan derajat beratmya obstruksi aliran udara. Spirometri mengukur volume udara ketika ekspirasi dari inspirasi maksimal (force vital capacity, FVC) dan volume udara ketika ekspirasi selama satu detik pertama (forced expiratory volume in one second, FEV1), serta rasio dari kedua pengukuran ini. Seseorang dapat didiagnosis PPOK bila rasio FEV1/FVC kurang dari 0,7 atau bila FEV1 pasca bronkodilator <80%. [9]
FEV1 dan FVC mengalami penurunan. Penyempitan dari lumen bronkus dapat dari penurunan FEV1/ FVC ini. Pemberian beta -2 agonis hanya dapat meningkatkan perbandingan FEV1 dan FVC ini menjadi kurang dari 20%. Pada emfisema TLC akan mengalami peningkatan, dimana dapat ditemukan dengan pletismografi. Akan tetapi angka dengan plestimografi lebih tinggi dibandingkan dengan teknik napas tunggal. Dengan menggunakan helium dilusi dapat menunjukkan adanya suatu obstruksi dimana pada inspirasi dari helium tidak dapat sempurna. [8]
-         Hipoksia jaringan tubuh pada umumnya.
-         Hipoksia pada miokardia, sehingga dapat menimbulkan dekompensasi dan kongesti (pembendungan).
-         Hipoksia pada paru dapat menimbulkan hipertensi pulmonal dan pulmonale.
-         Hiperkapnia dapat disebebkan oleh 2 tipe, yakni Pink puffer atau tipe A dan blue bloater atau tipe B. Pada tipe A ditandai dengan sesak nafas (dispnea) yang terus menerus, terutama pada waktu gerak badan, sedangkan pada tipe B dispne terjadi secara episodik. [8]
Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK Menurut Gold 2018
Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,70:
GOLD 1:
Ringan
FEV1 ≥ 80% predicted
GOLD 2:
Sedang
50% ≤ FEV1 < 80% predicted
GOLD 3:
Berat
30% ≤ FEV1 < 50% predicted
GOLD 4:
Sangat berat
FEV1 < 30% predicted
Sumber: [6]
Tabel 2.3 Klasifikasi PPOK Menurut Gold 2010
Derajat
Klinis
Faal Paru
Derajat 0
Beresiko
Gejala klinis (batuk, produksi sputum)
Normal
Derajat I:
PPOK
Ringan
Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru mulai menurun
-       FEV1/FVC < 0.7
-       FEV1 ≥ 80% predicted
Derajat II:
PPOK
Sedang
Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya
-       FEV1/FVC < 0.7
-       50% ≤ FEV1 < 80% predicted
Derajat III:
PPOK
Berat
Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien
-       FEV1/FVC < 0.7
-       30% ≤ FEV1 < 50% predicted
Derajat IV:
PPOK
Sangat
Berat
Gejala di atas ditambah tandatanda
gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kulitas hidup pasien
memburuk dan jika eksaserbasi
dapat mengancam jiwa
-       FEV1/FVC < 0.7
-       FEV1 < 30% predicted or FEV1 < 50% predicted plus chronic respiratory failure
Sumber: [5]
Dulu, PPOK dinilai sebagai penyakit dengan karakteristik dominan berupa sesak nafas. Penilaian sederhana sesak nafas seperti kuesioner Modified British Medical Research Council (mMRC). [6]
Tabel 2.4 Skala Sesak Nafas menurut Modified British Medical Research Council (mMRC)
mMRC Grade 0
Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat.
mMRC Grade 1
Sesak napas timbul jika berjalan cepat pada lantai yang datar, atau jika berjalan ditempat yang sedikit landai.
mMRC Grade 2
Jika berjalan bersama dengan teman seusia di jalan yang datar, selalu lebih lambat, atau jika berjalan sendirian di jalan yang datar, sering beristirahat untuk mengambil napas.
mMRC Grade 3
Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan sejauh 30 m (100 yard) pada jalan yang datar, atau setelah berjalan beberapa menit.
mMRC Grade 4
Timbul sesak napas berat ketika bergerak untuk mengenakan,atau melepas pakaian.
Sumber: [6]
Bagaimanapun, sekarang telah diketahui bahwa PPOK mempengaruhi pasien diluar dari sekedar dispnea. Atas alasan ini, penilaian komperhensif dari simptom direkomendasikan menggunakan pengukur seperti COPD Assessment Test (CAT) dan the COPD Control Questionnaire (The CCQ) telah dikembangkan dan disesuaikan. [6]           
Saya tidak pernah batuk.
0
1
2
3
4
5
Saya selalu batuk
Tidak ada dahak (riak) sama sekali.
0
1
2
3
4
5
Dada saya penuh dengan (riak).
Tidak ada rasa berat (tertekan) di dada.
0
1
2
3
4
5
Dada sya terasa berat (tertekan) sekali.
Ketika saya jalan mendaki/ naik tangga, saya tidak sesak.
0
1
2
3
4
5
Ketika saya jalan mendaki/ naik tangga saya sangat sesak.
Aktivitas sehari- hari saya di rumah tidak terbatas.
0
1
2
3
4
5
Aktivitas sehari- hari saya di rumah sangat terbatas.
Saya tidak khawatir keluar rumah meskipun saya menderita penyakit paru.
0
1
2
3
4
5
Saya sangat khawatir keluar rumah karena kondisi paru saya.
Saya dapat tidur dengan nyenyak.
0
1
2
3
4
5
Saya tidak dapat tidur dengan nyenyak karena kondisi paru saya.
Saya sangat bertenaga.
0
1
2
3
4
5
Saya tidak punya tenaga sama sekali.
Sumber: [6]
Combined COPD Assessment
Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang dialami, klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD dan kejadian eksaserbasi.
Gambar 2.3 Combined COPD Assessment

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment: [10]
1.      Kelompok A – Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
2.      Kelompok B – Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.
3.      Kelompok C – Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
4.      Kelompok D – Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.
b.        Radiologi
Gambaran radiologi pada paru paru tergantung pada penyebab dari PPOK. Pada emfisema maka gambaran yang paling dominan adalah radiolusen paru yang bertambah, sedangkan gambaran pembuluh darah paru mengalami penipisan atau menghilang. Selain itu dapat juga ditemukan pendataran diafragma dan pembesaran rongga retrosternal. Pada bronkitis kronik tampak adanya penambahan bronkovaskular dan pelebaran dari arteri pulmonalis, disamping itu ukuran jantung juga mengalami pembesaran. Dengan pemeriksaan fluoroskopi dapat dinilai kecepatan aliran udara pada waktu ekspirasi. Infeksi pada bronkiolus ditandai dengan adanya bercak-bercak pada bagian tengah paru. Bila terdapat emfisema sentrilobular, maka dapat ditemukan adanya gambaran yang disebut dengan “leaves on a winter tree” sebagai tanda adanya bronkiektasis dan gambaran ini semakin jelas bila dilakukan pemeriksaan bronkografi. [8]
c.         Laboratorium Darah [7]
-     Hb, Ht, Tr, Lekosit
-     Analisis Gas Darah
d.        Skrining defisiensi α1-Anti Tripsin
WHO merekomendasikan bahwa semua pasien dengan diagnosis PPOK harus diskrining sekali terutama di daerah dengan prevalensi defisiensi α1-anti tripsin tinggi. Konsentrasi rendah (<20% normal) sangat sugestif defisiensi homozigot. Anggota keluarga juga harus diperiksa. [6]
e.         Pemeriksaan Bronkoskopi
Dapat ditemukan adanya obstruksi dan kolaps pada alveoli dan kadang- kadang dapat meliputi bronkus yang besar. Pada bronkitis kronik tampak warna mukosa yang merah dan hipersekresi. [8]




2.9       Diagnosis Banding
Tabel 2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis
Gejala
PPOK
-       Onset pada usia pertengahan
-       Gejala progresif lambat
-       Lamanya riwayat merokok
-       Sesak saat aktivitas
-       Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel
Asma
-       Onset awal sering pada anak
-       Gejala bervariasi dari hari ke hari
-       Gejala pada malam / menjelang pagi
-       Disertai alergi, rinitis atau eksim
-       Riwayat keluarga dengan asma
-       Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversible
Gagal jantung kongestif
-       Auskultasi,terdengar ronchi halus di bagian basal
-       Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru
-       Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi
Bronkiektasis
-       Sputum produktif dan purulen
-       Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
-       Auskultasi terdengar ronki kasar
-       Foto toraks/CT-scan toraks menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus
Tuberculosis
-       Onset segala usia
-       Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru
-       Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
-       Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis
Bronkiolitis obliterans
-       Onset pada usia muda, bukan perokok
-       Mungkin memiliki riwayat rheumatoid arthritis atau pajanan asap
-       CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hypodense
Panbronkiolitis diffusa
-       Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok
-       Hampir semua menderita sinusitis kronis
-       Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak menyebar kecil di centrilobular dan gambaran hiperinflasi
Sumber: [6]
Gejala gejala diatas ini sesuai karakteristik penyakit masing-masing, tetapi tidak terjadi pada setiap kasus. Misalnya, seseorang yang tidak pernah merokok dapat menderita PPOK (terutama di negara berkembang di mana faktor risiko lain mungkin lebih penting daripada merokok); asma dapat berkembang di usia dewasa dan bahkan pasien lanjut usia. [6]

2.10     Penatalaksanaan
1.         Farmakologi
a.    Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas. [10] Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting). [7]
Macam-macam bronkodilator:
-    Golongan agonis β2
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam. Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. [10]
-    Golongan antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari shortacing anticholinergic inhalasi lebih lama disbanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status kesehatan, serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal. Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada datayang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan penggunaan obat tersebut. [10]
-    Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. [7]
Tabel 2.7 Derajat dan Rekomendasi Pengobatan PPOK
Derajat
Karakteristik
Rekomendasi Pengobatan
Semua derajat

-       Edukasi (hindari faktor pencetus)
-       Bronkodilator kerja singkat (SABA, Antikolinergik kerja cepat, Xantin) bila perlu
-       Vaksinasi influenza
Derajat I :
PPOK Ringan
VEP1 /KVP < 70%
VEP1 ≥ 80 % prediksi
Dengan atau tanpa
gejala
Bronkodilator kerja singkat (SABA, Antikolinergik kerja cepat, Xantin) bila perlu
Derajat II :
PPOK Sedang
VEP1/KVP < 70%
50 % < VEP1< 80 %
prediksi
Dengan atau tanpa
gejala
1.      Pengobatan reguler dengan bronkodilator:
-     Agonis β2 kerja panjang sebagai terapi pemeliharaan (LABA)
-     Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
-     Simptomatik
2.      Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)
Derajat III:
PPOK Berat
VEP1 /KVP ≤ 70%
30 % ≤ VEP1 ≤ 50 %
prediksi
dengan atau tanpa
gejala
1.      Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator:
-     Agonis β2 kerja panjang sebagai terapi pemeliharaan (LABA)
-     Anti kolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
-     Simptomatik
-     Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang
-     PDE-4 inhibitor
2.      Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)
Derajat IV:
PPOK Sangat
Berat
VEP1 /KVP < 70%
VEP1 < 30 %
prediksi atau gagal
napas atau gagal
jantung kanan
1.      Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator:
-     Agonis β2 kerja panjang sebagai terapi pemeliharaan (LABA)
-     Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
-     Pengobatan komplikasi
-     Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang
-     PDE-4 inhibitor
2.      Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)
3.      Terapi oksigen jangka panjang bila gagal napas
4.      Ventilasi mekanis noninvasive
5.      Pertimbangkan terapi pembedahan
Sumber: [7]






Tabel 2.8 Obat-obatan PPOK



















Sumber: [7]
b.    Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. [7]
c.    Antibiotik
Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan eksaserbasi. [10]
d.   Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. [7]
e.    Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. [7]
f.     Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phosphodiesterase-4 inhibitor, roflumilast dapat mengurangi eksaserbasi, diberikan secara oral dengan glukokortikosteroid. Roflumilast juga dapat mengurangi eksaserbasi jika dikombinasikan dengan LABA. Sejauh ini belum ada penelitian yang membandingkan roflumilast dengan glukokortikosteroid inhalasi. [7]

2.    Non Farmakologi
a.    Edukasi [7]
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
-    Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
-    Melaksanakan pengobatan yang maksimal
-    Mencapai aktiviti optimal
-    Meningkatkan kualiti hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
-    Pengetahuan dasar tentang PPOK
-    Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
-    Cara pencegahan perburukan penyakit
-    Menghindari pencetus (berhenti merokok)
-    Penyesuaian aktiviti
b.    Berhenti merokok [7]
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:
-    Ask (Tanyakan)
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
-    Advise (Nasihati)
Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
-    Assess (Nilai)
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan).
-    Assist (Bimbing)
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
-    Arrange (Atur)
Buat jadwal kontak lebih lanjut.

c.    Rehabilitasi PPOK [7]
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
-    Simptom pernapasan berat
-    Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
-    Kualiti hidup yang menurun
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu: latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
1)   Latihan fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan:
-    Peningkatan VO2 max
-    Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobic
-    Peningkatan cardiac output dan stroke volume
-    Peningkatan efisiensi distribusi darah
-    Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan jasmani pada PPOK terdiri dari dua kelompok:
-    Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
-    Endurance exercise
2)   Psikososial
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan obat.
3)   Latihan pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.


3.    Terapi Oksigen [7]
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat oksigen:
-     Mengurangi sesak
-     Memperbaiki aktiviti
-     Mengurangi hipertensi pulmonal
-     Mengurangi vasokonstriksi
-     Mengurangi hematokrit
-     Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
-     Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi:
-     PaO2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90 %
-     PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Korpulmonal, perubahan P pulmonal, Ht > 55 % dan tandatanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam terapi oksigen:
-     Pemberian oksigen jangka panjang
-     Pemberian oksigen pada waktu antiviti
-     Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
-     Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK aksesarbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan:
-     Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy = LTOT)
-     Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
-     Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidar atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen:
-     Nasal kanul
-     Sungkup venture
-     Sungkup rebreathing
-     Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu harus dilakukan secara hati-hati, disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut. Pemberian okisgen yang terlalu tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar CO2. Bila terdapat kenaikan PCO2 dipilih sungkup nonrebreathing.

4.    Ventilasi Mekanik [7]
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara:
-     Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah noninvasive intermitten positif pressure (NIPPV) atau Negative pressure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi:
·      Volume control
·      Pressure control
·      Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
·      Continous positive airway pressure (CPAP)
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT/Long Term Oxygen Therapy) akan memberikan perbaikan yang signifikasi pada:
·      Analisis gas darah
·      Kualiti dan kuantiti tidur
·      Kualiti hidup
·      Analisis gas darah
Indikasi Penggunaan NIPPV:
·      Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal paradoksal
·      Asidosis sedang sampai berat pH < 7.30 – 7.35
·      Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus menggunakan peerlengkapan yang tidak sederhana.
-     Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila di temukan keadaan sebagai berikut:
·      Gagal napas yang pertama kali
·      Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki, misalnya pneumonia
·      Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif:
·      Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan abdominal paradoksal
·      Frekuensi napas > 35 permenit
·      Hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2 < 40 mmHG)
·      Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (PCO2 > 60 mmHg)
·      Henti nafas
·      Somnolen, gangguan kesadaran
·      Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
·      Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif)
·      Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut:
·      PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
·      Terdapat komorbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
·      Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik:
·      Ventilator-acquired pneumonia (VAP)
·      Barotrauma
·      Kesukaran weaning
Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan:
·      Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi
·      Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
·      Nutrisi seimbang
·      Dibantu dengan NIPPV

5.    Nutrisi [7]
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:
-     Penurunan berat badan
-     Kadar albumin darah
-     Antropometri
-     Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
Gizi penting sebagai penentu gejala, cacat dan prognosis dalam PPOK, baik kelebihan berat badan dan kurus bisa menjadi masalah. Khusus rekomendasi gizi untuk pasien dengan PPOK didasarkan pada pendapat ahli. Kira-kira 25% dari pasien dengan PPOK derajat II sampai derajat IV menunjukkan penurunan baik indeks massa tubuh dan massa lemak bebas. Pengurangan indeks massa tubuh merupakan faktor risiko independen untuk mortalitas PPOK. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.
Gangguan elektrolit yang terjadi adalah:
-     Hipophospatemi
-     Hiperkalemi
-     Hipokalsemi
-     Hipomagnasemi

6.         Terapi Pembedahan [7]
Bertujuan untuk:
-     Memperbaiki fungsi paru
-     Memperbaiki mekanik paru
-     Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
-     Memperbaiki kualiti hidup
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu:
-     Bulektomi
-     Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgery (LVRS)
-     Transplantasi paru































Gambar 2.4 Algoritme PPOK Stabil Ringan



















                          Gambar 2.5 Algoritme PPOK Stabil Sedang-Berat
2.11     Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:
1.    Gagal napas
-     Gagal napas kronik
-     Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2.        Infeksi berulang
3.        Kor pulmonal
Gagal napas kronik: Hasil analisis gas darah PO2< 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan:
-         Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
-         Bronkodilator adekuat
-         Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
-         Antioksidan
-         Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:
-         Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
-         Sputum bertambah dan purulent
-         Demam
-         Kesadaran menurun Infeksi berulang

Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal:
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan. [4]

2.12     Pencegahan
Saat ini, tidak ada perawatan terbukti yang mencegah
perkembangan PPOK pada pasien yang terus
menerus merokok. Bagaimana Penghentian rokok, dapat mencegah berlebihan penurunan fungsi paru dan harus menjadi tujuan utama untuk dokter yang merawat pasien PPOK. Pesan harus ditekankan bahaya dari terus menerus merokok, manfaat dari penghentian dalam hal kegiatan yang berarti bagi individu,bdan pemahaman bahwa berhenti merokok adalah tujuan yang realistis dan dapat dicapai. Bantuan dengan farmakologis tambahan seperti terapi penggantian nikotin, varenicline, atau bupropion dan rujukan ke grup penghentian merokok harus ditawarkan.  Paparan iritasi pernapasan harus dihindari tempat kerja serta rumah. Meskipun pekerjaannya berat paparan debu jarang adalah penyebab utama PPOK, paparan pekerjaan pekerjaan berdebu pada perokok dapat meningkatkan kerusakan fungsi paru-paru meningkatkan gejala batuk dan sputum. [3]
1.             Mencegah terjadinya PPOK
-          Hindari asap rokok
-          Hindari polusi udara
-          Hindari infeksi saluran napas berulang
2.             Mencegah perburukan PPOK
-     Berhenti merokok
-     Gunakan obat-obatan adekuat
-     Mencegah eksaserbasi berulang. [4]

2.13     Prognosis
Setelah PPOK menjadi jelas secara klinis, kelangsungan hidup rata-rata sekitar 10 tahun. Prognosis dapat bervariasi secara luas, bagaimanapun dokter adalah prognostikator yang kecil  bertahan hidup di PPOK. karena  penyakitnya adalah salah satu penyakit yang sangat bervariasi tingkat perkembangan dan sebagian karena kematian sering terjadi bersamaan dengan  kerentanan penyakit yang terjadi bersamaan dan hubungan merokok lainnya penyakit seperti kanker paru-paru dari pada kegagalan pernafasan . Beberapa faktor telah diidentifikasi yang memprediksi buruknya prognosis untuk  bertahan hidup di PPOK. Ini termasuk FEV1 rendah, status merokok aktif , hipoksemia, nutrisi yang buruk, kehadiran cor pulmonale,  takikardia, kapasitas latihan rendah, dispnea berat, kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan yang buruk, anemia, sering eksaserbasi. [3]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SPASMOFILIA

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI