KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
KEGAWATDARURATAN
PSIKIATRI
Kedaruratan
psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran
Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan
intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di
rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan
psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan
intervensi terapeutik segera, antara lain:
a.
Kondisi gaduh gelisah
b. Tindak
kekerasan (violence)
c. Tentamen
Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala
ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e.
Delirium
Epidemiologi
Ruang
kegawatdaruratan psikiatrik sama-sama digunakan oleh laki-laki dan perempuan
dan lebih banyak digunakan oleh lajang dibandingkan dengan orang yang telah
menikah. Kira-kira 20% pasien ini melakukan bunuh diri dan kira-kira 10%
melakukan kekerasan. Diagnosis yang paling lazim adalah gangguan mood (termasuk
gangguan depresif dan episode manic),skizofrenia,dan ketergantungan alkohol.
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang
dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan utama dalam melakuka
evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus dilakukan secara
tepat adalah:
a.
Menentukan diagnosis
awal
b. Melakukan
identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai
terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1.
Wawancara Kedaruratan
Psikiatrik
Wawancara
dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan
pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak
pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi informasi, terutama
pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan
dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya
diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi
terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini
dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan
psikiatrik standar meliputi: riwayat
perjalanan penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status
fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan
terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah
menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan darah, suhu, nadi adalah sesuatu yang
mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang
gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan
tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan
dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum
menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan
pasien
Sebelum mengevaluasi
pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di
ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau
kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik
atau psikiatrik?
Penting bagi dokter
untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab
penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala,
infeksi berat dengan demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala
putus zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai
gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua
kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah
penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh ketidakmampuannya dalam menilai
realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap
pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal
atau homicidal
Semua pasien dengan
kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang
berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu
ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan
merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan
pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu
menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya
untuk merawat pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.
Adapun indikasi rawat inap antara
lain adalah:
a.
Bila pasien
membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila
perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu
observasi lebih lanjut.
Pertimbangan Dalam Penegakan
Diagnosis Dan Terapi
1.
Diagnosis
Meskipun
pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal yang
harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya penapisan
toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi, EKG dan
tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi
dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan.
2.
Terapi
Pemberian
terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum tranquilization with minimum
sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu
pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan
penderitaannya
c. Agar
evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan
yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose
High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine, perphenazine
dsb
b. Atypical
antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi
benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang sangat
efektif.
A.
Keadaan
Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis
dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu,
suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai
sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri
utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).
Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan
manifestasi klinis salah satu jenis psikosis (Maramis dan Maramis, 2009):
1.
Delirium
2.
Skizofrenia katatonik
3.
Gangguan skizotipal
4.
Gangguan psikotik akut dan sementara
5.
Gangguan afektif bipolar, episode
kini manik dengan gejala psikotik
1. Psikosis karena gangguan mental
organik: delirium
Pasien dengan keadaan
gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organik akut menunjukkan
kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak
organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit
badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).
Penyakit badaniah ini yang
menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak sendiri dan
karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya
meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan
sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan
sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi
sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya terdapat kesadaran menurun
sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya terdapat dementia. Akan
tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak, demensia
paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu waktu
menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui
penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan
neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka
biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan manifestasi suatu psikosis dari
kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak berhubungan atau sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti
pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis
yang paling sering didapat di negara kita. Secara mudah dapat dikatakan bahwa
bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi serta afek-emosi yang
inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini biasanya suatu
skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada perpaduan
(disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir,
afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah
atau bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang
lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan
Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia,
yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah ialah episode skizofrenia akut
dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping psikomotor yang
meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate.
Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama
sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan hebat sekali oleh individu.
Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari
luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan
seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan psikotik
akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif
dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam
kelompok psikosa afektif karena pokok gangguannya terletak pada afek-emosi.
Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang menimbulkan gangguan mental ini.
Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang dianggap berhubungan dengan psikosa
bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak ditemukan juga
disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis depresi
ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain juga
menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania
tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien itu
memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau melayang (“flight of
ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap mudah saja.
Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia lekas
tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).
Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh
gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita harus bersikap tenang. Dengan
sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-kata yang dapat
menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat
menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat,
sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara dengan pasien dengan
beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih
tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik.
Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan
mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu
neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine
HCL), pada umumnya sangat berguna untu mengendalikan psikomotorik yang
meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang mempunyai
dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg),
atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat
neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu
tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg), disuntik
secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu
antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek
antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera
timbul terutama yang mempunyai dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi
postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf vegetatif yang labil
atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka
pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk
dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis,
2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik
tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan mengalami kecelakaan, melukai diri
sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-barang. Bila pasien sudah
tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan
per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan
cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum
diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan
Maramis, 2009).
Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.
Pasien dengan amok, bila sampai
kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah
menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia
dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).
B.
Tindak
kekerasan (violence)
Violence
atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi
diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal
behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan
psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat
mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
Epidemiologi :
Perilaku
kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. WHO (2001) menyatakan, paling
tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO
memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan
jiwa. Pada masyarakat umum terdapat 0,2 – 0,8% penderita skizofrenia dan dari
120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak
yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam Carolina, 2008). Data WHO
tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16
persen mengalami gangguan jiwa.
Berdasarkan
data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai
2,5 juta orang (WHO, 2006).
a. Gambaran
klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik
yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
§ Gangguan
psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan mengalami
halusinasi yang bersifat suruhan (commanding
hallucination),
§ Intoksikasi
alkohol atau zat lain,
§ Gejala
putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
§ Katatonik
furor
§ Depresi
agitatif
§ Gangguan
kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian impuls
(misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),
§ Gangguan
mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis otak.
Faktor
risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
§ Adanya
pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,
§ Adanya
rencana spesifik,
§ Adanya
kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
§ Laki-laki,
§ Usia
muda (15-24 tahun),
§ Tatus
sosioekonomi rendah,
§ Adanya
riwayat melakukan tndak kekrasan,
§ Tindakan
antisosial lainnya
§ Riwayat
percobaan bunuh diri.
Tujuan pertama
menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak kekerasan adalah
mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat diagnoss sebagai
dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
Panduan
wawancara dan Psikoterapi
§ Bersikaplah
suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau
perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu dengan
memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan menyuruh
pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”
§ Kaakan
langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,
§ Tenangkan
pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan penuh
kontrol.
§ Tawarkan
obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi
diri anda
-
Jangan pernah
mewawancarai pasien yang bersenjata
-
Jangan pernah
mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang diri atau di ruang
tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.
-
Jangan melakukan
pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu pada anggota staf yang
terlatih.
-
Duduklah dengan jarak
paling tidak sepanjang lengan
-
Jangan menantang atau
menentang pasien psikotik.
-
Jangan duduk berdekatan
dengan pasien paranoid, yang muungkin merasa bahwa anda mengancamnya
-
Waspadalah terhaddap
tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu persiapkan rute untuk melarikan diri
seandainya pasien menyerrnag anda. Jangan pernah membelakangi pasien
2) Waspada
terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
-
Adanya kekerasan
terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini, gigi yang dikatupkan
serta telapak yang dikepal,
-
Ancaman verbal,
-
Agitasi psikomotor,
-
Intoksikasi alkohol
atau obat atau zat lain,
-
Waham kejar, dan
-
Senjata atau
benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti garpu, asbak)
3) Pastikan
bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara aman.
4) Pengikatan
pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya setelah pasien
diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk menenangkan pasien.
5) Lakukan
evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan wawancara
pskiatrik.
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk
menenagkan pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
-
Flufenazine,
trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
-
Olanzapine 2,5-10 mg
per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata per hari 13-14mg,
-
Atau lorazepam 2-4 mg,
diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi
dengan dosis yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang
mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan
antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang
menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan respon yang baik
dengan pemberian Ă-blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010)
C.
Bunuh
diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen
suicidum adalah kematian yang diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang
dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis,
2009). Ada macam-macam pembagian bunuh-diri
dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena
praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu
ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi
kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai
integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka
suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu
itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa
kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang,
“puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat
primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi,
seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang
tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal
ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan
masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya
tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan
pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa
percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka
yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi
yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.
Helber
Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:
1. Kematian sebagai pelepasan
pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk
mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan kematian. Individu mendapat
perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan
bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik
(ke belakang) (“Death as retroflexed murder”).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside
dapat mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang
ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian
mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali
(“Death as reunion”).
Kematian dapat mempunyai arti yang
menyenangkan, karena individu itu akan bersatu kembali dengan orang yang telah
meninggal (reuni khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat
diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena
kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita, akan tetapi seorang ibu
tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi.
Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri sendiri
merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa
karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia
menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.
Faktor
Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri
(Sadock, et al, 2007):
a.
Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh
diri dibanding laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi
pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih.
Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan
senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau
menggunakan racun.
b.
Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Pada laki-laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas
45 tahun sedangkan pada perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas
55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri,
tetapi lebih sering berhasil.
c.
Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak
melakukan bunuh diri dibanding ras kulit hitam.
d.
Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama
jika terdapat anak di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih
beresiko untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda
atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang
tinggi.
e.
Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko
bunuh diri, tetapi status sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh
diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding
pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul
spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko
tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir,
agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi
untuk bunuh diri.
f.
Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri
memiliki masalah kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya
mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan
resiko bunuh diri.
g.
Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau
melakukan bunuh diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri
dari depresi 80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara
semua pasien dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
h.
Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh
diri. Sekitar 80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki.
Sekitar 50% dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan
anggota keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
i.
Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri
memiliki gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor
predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga merupakan faktor
predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat
menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.
Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan
dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood, keterantungan alkohol, skizofrenia.
Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan
menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor kontribusi tadi.
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri
Kemungkinan
bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
a.
Pasien pernah mencoba bunuh diri
b.
Keinginan bunuh diri dinyatakan
secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa ancaman: “kamu tidak akan saya
ganggu lebih lama lagi” (sering dikatakan pada keluarga)
c.
Secara objektif terlihat adanya
mood yang depresif atau cemas
d.
Baru mengalami kehilangan yang
bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan lain-lain)
e.
Perubahan perilaku yang tidak
terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan serius dan mendalam dengan
kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang miliknya.
f.
Perubahan sikap yang mendadak:
tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
§
Pada waktu wawancaa,
pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide bunuh diri. Bila tidak,
tanyakan langsung.
§
Mulailah dengan
menanyakan:
-
Apakah anda pernah
merasa ingin menyerah saja?
-
Apakah anda pernah
merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
§
Tanyakan isi pikiran
pasien:
-
Berapa sering pikiran ini
muncul?
-
Apakah pikiran tentang
bunuh diri ini meningkat?
§
Selidiki :
-
Apakah pasien bisa
mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh dirinya?
-
Apakah mereka sudah
mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
-
Seberapa pesimiskah
mereka?
-
Aakah mereka bisa
memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi
dan Penatalaksanaan
Pertolongan
pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat kejadian) dan
atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau bedah.
Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau
luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan
antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting
sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien
dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan
Maramis, 2009).
Ketika
sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan tinggalkan
mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan dari
ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh
diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara
impulsif.
Penatalaksanaan
tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi berat boleh saja
berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di ruma.
De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan
pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik
bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan masalah
dengancara rasionald an bertanggung jawab.
Rawat
inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai
kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka
yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide
bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
Terapi psikofarmaka
Seorang yang
sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi lebih
baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu.
Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per
hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus
terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam
bebeapa hari.
D.
Sindroma
Neuroleptik Maligna
Sindrom
neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan
penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia,
akinesia mutisme dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh
demam tinggi (dapat mencapai 41,5ÂșC), kekakuan otot yang nyata sampai seperti
pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah
yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah
dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal.
Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya
terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai
ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom
neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan
antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis
sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat demam dan kekakuan otot
yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:
-
Diaforesis
-
Disfagia
-
Tremor
-
Inkontinensia
-
Penurunan kesadaran
-
Mutism
-
Takikardia
-
Tekanan darah yang meningkat atau
labil
-
Leukositosis
-
Bukti laboratorium adanya kerusakan
otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik
maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya sindrom neuroleptik
maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan hipotesis bahwa
penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala klinis
yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan
kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan
rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas
otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi
hipotalamus dan kekakuan otot
Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali
lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor predisposisi munculnya sindrom
neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan, injeksi
intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol,
pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan
ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan
obat-obatan agoni dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan
bromocriptine.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom
neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat di
ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan
teman-temannya.
Evaluasi dan Penatalaksanaan
§ Pertimbangkan
kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang mendapat antipsikotik
yang mengalami demam serta kekakuan otot.
§ Bila
terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan
bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma
neuroleptik maligna.
§ Hentikna
pemberian antipsikotik segera.
§ Monitor
tanda-tanda vital secara berkala.
§ Lakukan
pmeriksaan laboratorium
§ Hidrasi
cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan kemungkinan
terjadiny agagal ginjal.
§ Sindrom
ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah kemudian adalah
pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda atau
kembali ke antipsikotik semula yang efektif.
Terapi Psikofarmaka
§ Amantadine
200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
§ Bromocriptine
2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45 mg/hari
§ Levodopa
50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus
Komentar
Posting Komentar